Translate

Rabu, 21 November 2012

qadha shalat fardhu


Shalat fardhu, wajib dilaksanakan tepat pada waktunya, berdasarkan firman Allah SWT,

  إِنَّ    الصَّلَوٰةَ    كَانَتْ    عَلَى    الْمُؤْمِنِينَ    كِتٰبًا    مَّوْقُوتًا 

“Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” 
(An-Nisaa’: 103).

Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban shalat dan ada pula yang tidak menggugurkannya. Hal-Hal yang Menggugurkan shalat adalah haidl, nifas, gila dan pingsan. Selain itu tidak menggugurkan kewajiban shalat artinya shalat yang ditinggalkan tersebut harus diqadha seperti karena lupa, tertidur dan lalai terhadap shalat.

Hukum mengqadha shalat wajib yang tertinggal adalah wajib, karena yang namanya wajib mesti dilaksanakan dan jika ditinggalkan akan berdosa.

Hal ini berdasarkan hadits Nabi :

مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

Barangsiapa yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa, maka hendaknya ia melakukan salat setelah ingat dan tidak ada kafarat (pengganti) selain itu.
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Mayoritas para ulama fiqh dari keempat madzhab berpendapat bahwa  wajib mengqadha shalat, karena meninggalkan salat itu dosa dan mengqadhanya itu wajib. Oleh karena itu sangat dianjurkan memohon ampun pada Allah dan bertaubat dari lalainya meninggalkan shalat secara sengaja. 

Adapun waktu shalat qadha adalah ketika kita ingat kita telah meninggalkan shalat. Jika penyebabnya tidak disengaja seperti lupa atau tertidur, maka qadhanya sunat disegerakan ketika ingat, sedangkan jika penyebabnya lalai atau disengaja maka qadhanya wajib disegerakan ketika ingat.

puasa 10 muharam


puasa 9 10 Muharam disebut juga puasa hari tasu’a dan hari ‘asyura. Hari ‘Asyura adalah hari ke 10 bulan Muharam, sedangkan hari Tasu’a adalah hari ke 9 bulan Muharam.

Hukum puasa pada hari ‘Asyura adalah sunnat muakkad.

وعن ابن عباس رضى الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم صام يوم عا شوراء وامر بصيامه



“Dari Ibnu ‘Abbas r.a, bahwa Rasulullah saw melakukan puasa pada hari ‘Asyura dan beliau memerintahkan untuk melakukannya”
(Muttafaq ‘alaih)


Imam Bukhori dan Imam Muslim berpendapat bahwa kata “memerintahkan” pada hadits tersebut hukumnya tidak sampai derajat wajib, tetapi sunat.

Pahala melakukan puasa pada hari ‘Asyura adalah sesuai dengan hadits :


وعن ابي قتادة رضى الله عنه ان رسول الله سئل عن صيام يوم عا شوراء فقال يكفر السنة الماضية


“Dari Ibn Qatadah r.a, bahwa Rasulullah saw ditanya soal puasa pada hari ‘Asyura. Beliau bersabda bahwa puasa hari ‘Asyura bisa mengkafarati dosa (kecil) selama satu tahun ke belakang”. 
(HR Muslim)


Hukum puasa pada hari ‘Tasu’a juga sunnat , sesuai hadits nabi :


وعن ابن عباس رضى الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لئن بقيت الى قابل لا صومن التاسع


“Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan”.
(HR Muslim)


Hikmah dianjurkannya puasa hari ke 10 disertai dengan hari sebelumnya/hari ke 9 adalah :
1. supaya berbeda dengan umat Yahudi, karena mereka juga dulu menjalankan tradisi puasa bertepatan pada tanggal 10 muharam saja, sehingga untuk membedakannya disunatkan bagi umat Islam melakukan puasa pada tanggal 9 10 muharam
2. menjaga kehati-hatian dari salah penanggalan awal muharam terutama bagi mereka yang ragu-ragu penentuan tanggal 1 muharam.
3. menjaga dari sebagian pendapat ulama bahwa puasa hanya 1 hari tanpa ada hari lain yang menemani adalah hal yang kurang baik, hal ini berdasarkan itba’ kepada pendapat yang menyatakan bahwa puasa pada hari jumat saja tanpa hari sebelum atau sesudahnya adalah kurang baik, namun Imam Syafi’I dalam Al Um, menegaskan bahwa tidak apa-apa menjalankan puasa hanya pada tanggal 10 Muharamnya saja, tanpa hari sebelumya. 

Sedangkan mengenai puasa pada tanggal 11 Muharam, sebuah hadits riwayat Imam Ahmad menyatakan :


صوموا يوم عا شوراء وخالفوا اليهود وصوموا قبله يوما وبعده يوما



“Puasalah kamu pada hari ‘Asyura dan berbedalah dengan puasa kaum Yahudi, dan puasalah sehari sebelumnya serta sehari setelahnya”

Kamis, 15 November 2012

Semir Rambut Selain Warna Hitam


Apakah menyemir rambut yang beruban dengan selain warna hitam itu sunnah yang dianjurkan ataukah hanya sekedar boleh?
Jawab :
Ya, hukumnya sunnah yang dianjurkan karena Rasulullah Ssallallahu `alaihi wa sallam melihat jenggot ayah Abu Bakar sudah memutih, maka beliau mengatakan:
«غيروا هذا بشيء واجتنبوا السواد»
Rubahlah uban ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam.”(1)
Maka merubah uban dengan selain warna hitam dengan daun pacar (hinna’), katam atau yang lainnya, hukumnya sunnah. Adapun dengan warna hitam maka dilarang dengan dalil perkataan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
«يكون قوم في آخر الزمان يخضبون بالسواد كحواصل الحمام لا يريحون رائحة الجنة»
Akan datang di akhir zaman suatu kaum yang menyemir rambut mereka dengan warna hitam seperti perut burung, mereka tidak akan mencium bau surga.(2)”
Masalah lainnya, merubah dengan selain hitam yang menyerupai dan mengikuti orang kafir tidak boleh dan hendaknya dijauhi karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«ومن تشبه بقوم فهو منهم»
Siapa yang menyerupai dengan suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
(Al As’ilah Al Imaratiah, 6 Jumadil Awwal 1423 H)
(1) HR. Muslim 2/44 dan disebutkan Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah di kitab Tahrim al Khidhab bis Sawad (Haramnya menyemir rambut dengan warna hitam) hal.42 sebagaimana terdapat dalam kitab Majmu`ah Rasail dan beliau membantah terhadap orang yang mengatakan bahwa perkataan ‘jauhi hitam’ itu mudraj.
(2)HR. Ahmad dan Abu Dawud sebagaimana di Silsilah Ash Shahihah Syaikh Al-Albani hal 41 jilid 3/446 dari hadist Ibnu Abbas dari jalan Abdul Karim Al Jazary dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Ibnul Jauzi telah keliru ketika beliau mengatakan bahwa Abdul Karim bukanlah Al Jazary tapi Ibnu Abi Mukhoriq, lalu dimasukkan ke Al-Maudhu`at. Yang benar hadits tersebut shahih, karena itu Syaikh Muqbil memasukkannya dalam kitab As-Shahihul Musnad)
Sumber: Fatwa-fatwa Syaikh Yahya Al Hajuri atas pertanyaan manca negara
Dikutip dari http://www.thullabul-ilmiy.or.id Oleh: Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri, Judul: Hukum Menyemir Rambut dengan selain Warna Hitam

Rabu, 14 November 2012

rahmat dari beda pendapat


Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan : “Perselisihan itu adalah rahmat, jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi”, atau “Kita saling tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi pada hal-hal yang kita perselisihkan” pun turut menghiasi, seakan menyetujui perselisihan yang kian larut ini.
Sekilas slogan-slogan tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih “… walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin.” Walhasil ketika bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.
Mereka tak sadar –bahwa dengan sikap seperti itu- justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.
Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah rahmat” dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.
Bahkan diantara mereka terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin memenangkan pendapat yang dipeganginya.
Semisal dalam hal pemilihan madzhab diantara imam yang empat. Baik dalam perkara aqidah, fiqih maupun muamalah. Sebagai contoh : “Si A tidak mau sholat di masjid yang berbeda madzhab” atau “si B tidak mau bermakmum di belakang si C karena madzhabnya berbeda”. Dan contoh-contoh lain yang telah melanda kehidupan umat Islam. Lalu apakah perselisihan yang demikian ini dikatakan sebagai “rahmat”?
Perkataan Ulama tentang Hadits ini
Al-Hadits merupakan sumber rujukan utama umat Islam setelah Al-Qur’an. Kedudukan Al-Hadits sedemikian penting, maka mengetahui keshohihan (kebenaran)nya adalah suatu konsekwensi logis. Namun dalam menentukan suatu hadits itu shohih atau tidak, bukanlah hal sepele. Oleh karena itu kita dilarang untuk sembarangan menukil hadits, jika belum pasti keshohihannya.
Ahlul Hadits adalah para ulama yang mereka memahami ilmu-ilmu seputar permasalahan hadits. Baik dari segi matan/redaksi hadits maupun sanad (deretan/rangkaian para perawi hadits yang bersambung sampai kepada Rasulullah). Ahlul Hadits berupaya keras untuk mengumpulkan, meneliti dan memisahkan hadits yang shohih dari yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Berikut penulis nukilkan perkataan Ahlul Hadits tentang sebuah hadits masyhur : “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”.
Asy Syeikh Al Muhadits Nashiruddin Al Albani rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah mengenai “hadits” ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”. Para muhadits sudah berupaya keras untuk mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau (Al Albani) berkata : “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shohih, dho’if, atau maudlu’.
Syaikh Zakariya Al Anshori menyetujuinya dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92 Qaaf (masih dalam manuskrif).
Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti hadits. Al ‘Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz 5/hal 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan rusak yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau mengatakan : “batil dan dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57 hal 141)
Dalam kitab Zajrul Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun hal 32, yang ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah (diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al Fauzan. Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan. Tidak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.
Adapun yang masyhur adalah hadits “Perselisihan para shahabatku adalah rahmat”. Dan sebagian dari ulama ahli ushul menyebutkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Ibnul Hajib di dalam Mukhtashornya tentang ushul fiqih.
Berkata Abu Muhammad ibnu Hazm : “Adapun hadits yang telah disebutkan “Perselisihan umatku adalah rahmat” adalah kebatilan dan kedustaan yang bermuara dari orang yang fasik.” (Al Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/61)
Al Qoshimy mengomentari (sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut Ta’wil 4/928 : “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.
Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah :
1. Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya.
2. Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara-perkara yang palsu termasuk “hadits” ini.
3. Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.
Berkata sebagian ulama : “Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat dan hadits, seperti firman Allah Ta’ala : “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang yang dirahmati Robbmu” dan sabda Rasulullah “Janganlah kalian berselisih, maka akan berselisih hati-hati kalian” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan dikeluarkan di dalam Sunan Abu Daud oleh Asy Syeikh Al Albani) dan hadits-hadits yang lain banyak sekali. Maka kesimpulannya bahwa kesepakatan (di atas kebenaran) itu lebih baik daripada perselisihan.
Penutup
Setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan hari Akhir, niscaya akan menyatakan bahwa dirinya cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun cinta tidaklah cukup di lisan saja. Bahkan harus diwujudkan dalam amal perbuatan. Salah satu bukti cinta kita kepada Beliau adalah tidak lancang/berani dalam menukil suatu ucapan, lalu mengatasnamakan Rasulullah. Hendaklah takut akan ancaman Beliau : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka”. (HR.Bukhori)
Alhamdulillah dari penjelasan Ahlul Hadits di atas, dapat diketahui bahwa hadits “Perselisihan umatku adalah rahmat” ternyata bukan merupakan sabda Rasulullah. Atau disebut juga hadits maudhu’. Padahal hadits ini sangat tenar dan menyebar bahkan menjadi pegangan para aktivis dakwah. Namun sebagai seorang muslim yang mau menerima kebenaran, tentulah akan bersegera meninggalkan hadits ini, sebagai salah satu wujud cinta dia kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Allah berfirman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imron : 103)
Al Hafidz Ibnu Katsir rohimahullah berkata : “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul (di atas kebenaran).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/367)
Sesungguhnya tidak terdapat satu dalilpun dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa perselisihan itu adalah rahmat. Maka sikap menyetujui perselisihan dan menganggapnya sebagai rahmat, justru menyelisihi nash-nash mulia, yang jelas-jelas mencela terjadinya perselisihan. Adapun yang ridho dengan perselisihan tersebut, tidaklah mereka memiliki sandaran dalil melainkan berpegang pada “hadits” yang maudhu’ ini. Wallahul muwafiq ila sabilish showab.
Dikutip dari http://www.darussalaf.co.id dati Buletin Jum’at Al Jihad, diterbitkan Yayasan As Salaf Samarinda. Telpon (0541) 7010648. Penulis Al Ustadz Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy. Judul asli “Kedudukan dan Penjelasan Hadits “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”

cara menangkal sihir


Hukum Sihir Dan Perdukunan.
Segala puji hanya kepunyaan Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan umat, Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tiada lagi Nabi sesudahnya.
Akhir-akhir ini banyak sekali tukang-tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib, dan mengobati orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak menyebar di berbagai negeri; orang-orang awam yang tidak mengerti sudah banyak menjadi korban pemerasan mereka.
Maka atas dasar nasihat (loyalitas) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada hamba-hambaNya, saya ingin menjelaskan tentang betapa besar bahayanya terhadap Islam dan umat Islam adanya ketergantungan kepada selain Allah dan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan perintah Allah dan RasulNya.
Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala saya katakan bahwa berobat dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Seorang muslim jika sakit hendaklah berusaha mendatangi dokter yang ahli, baik penyakit dalam, pembedahan, saraf, maupun penyakit luar untuk diperiksa apa penyakit yang dideritanya. Kemudian diobati sesuai dengan obat-obat yang dibolehkan oleh syara’, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu kedokteran.
Dilihat dari segi sebab dan akibat yang biasa berlaku, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran tawakkal kepada Allah dalam Islam. Karena Allah Ta’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan pula obatnya. Ada di antaranya yang sudah diketahui oleh manusia dan ada yang belum diketahui. Akan tetapi Allah Ta’ala tidak menjadikan penyembuhannya dari sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.
Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang yang sakit, mendatangi dukun-dukun yang mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal ghaib, untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, karena sesuatu yang mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib itu hanya didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara mendatangkan jin-jin untuk meminta pertolongan kepada jin-jin tersebut sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan sesat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut :
“Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab ‘Shahih Muslim’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.”
“Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:‘Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun)) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud).
Dikeluarkan oleh empat Ahlus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Hakim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh: ‘Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
“Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bukan termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain),yang meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR. Al-Bazzaar,dengan sanad jayyid).
Hadits-hadits yang mulia di atas menunjukkan larangan mendatangi peramal, dukun dan sebangsanya, larangan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang ghaib, larangan mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, dan ancaman bagi mereka yang melakukannya.
Oleh karena itu, kepada para penguasa dan mereka yang mempunyai pengaruh di negerinya masing-masing, wajib mencegah segala bentuk praktek tukang ramal, dukun dan sebangsanya, dan melarang orang-orang mendatangi mereka.
Kepada yang berwenang supaya melarang mereka melakukan praktek-praktek di pasar-pasar, mall-mall atau di tempat-tempat lainnya, dan secara tegas menolak segala yang mereka lakukan. Dan hendaknya tidak tertipu oleh pengakuan segelintir orang tentang kebenaran apa yang mereka lakukan. Karena orang-orang tersebut tidak mengetahui perkara yang dilakukan oleh dukun-dukun tersebut, bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang awam yang tidak mengerti hukum, dan larangan terhadap perbuatan yang mereka lakukan.
Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya mendatangi para peramal, dukun dan tukang tenung. Melarang bertanya serta membenarkan apa yang mereka katakan. Karena hal itu mengandung kemungkaran dan bahaya besar, juga berakibat negatif yang sangat besar pula. Sebab mereka itu adalah orang-orang yang melakukan dusta dan dosa.
Hadits-hadits Rasulullah tersebut di atas membuktikan tentang kekufuran para dukun dan peramal. Karena mereka mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan melainkan dengan cara berbakti, tunduk, taat, dan menyembah jin-jin. Padahal ini merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang membenarkan mereka atas pengakuannya mengetahui hal-hal yang ghaib dan mereka meyakininya, maka hukumnya sama seperti mereka. Dan setiap orang yang menerima perkara ini dari orang yang melakukannya, sesungguhnya Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka.
Seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya terhadap dugaan dan sangkaan bahwa cara seperti yang dilakukan itu sebagai suatu cara pengobatan, semisal tulisan-tulisan azimat yang mereka buat, atau menuangkan cairan timah, dan lain-lain cerita bohong yang mereka lakukan.
Semua ini adalah praktek-praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia, maka barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sesungguhnya ia telah menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.
Oleh karena itu tidak dibenarkan seorang muslim pergi kepada para dukun, tukang tenung, tukang sihir dan semisalnya, lalu menanyakan kepada mereka hal-hal yang berhubungan dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut hubungan suami istri dan keluarga, tentang cinta, kesetiaan, perselisihan atau perpecahan yang terjadi dan lain sebagainya. Sebab semua itu berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui hakikatnya oleh siapa pun kecuali oleh Allah Subhanahhu wa Ta’ala.
Sihir sebagai salah satu perbuatan kufur yang diharamkan oleh Allah, dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 102 tentang kisah dua Malaikat:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarkan ayat (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di Akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.”(Al-Baqarah:102)
Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu sihir, sesungguhnya mereka mempelajari hal-hal yang hanya mendatangkan mudharat bagi diri mereka sendiri, dan tidak pula mendatangkan sesuatu kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan ancaman berat yang menunjukkan betapa besar kerugian yang diderita oleh mereka di dunia ini dan di Akhirat nanti. Mereka sesungguhnya telah memperjualbelikan diri mereka dengan harga yang sangat murah, itulah sebabnya Allah berfirman :
Dan alangkah buruknya perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir itu, seandainya mereka mengetahui.”
Kita memohon kepada Allah kesejahteraan dan keselamatan dari kejahatan sihir dan semua jenis praktek perdukunan serta tukang sihir dan tukang ramal. Kita memohon pula kepadaNya agar kaum muslimin terpelihara dari kejahatan mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pertolongan kepada kaum muslimin agar senantiasa berhati-hati terhadap mereka, dan melaksanakan hukum Allah dengan segala sangsi-sangsinya kepada mereka, sehingga manusia menjadi aman dari kejahatan dan segala praktek keji yang mereka lakukan.
Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia!.
Tata Cara Menangkal Dan Menanggulangi Sihir
Allah telah mensyari’atkan kepada hamba-hambaNya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terjadi pada diri mereka. Allah juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Allah, kebaikan dan kesempurnaan nikmatNya kepada mereka.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara’:
Pertama: Tindakan preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awwudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti di bawah ini:
A. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid yang disyari’atkan setelah salam, atau dibaca ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya :
Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai Shubuh.”
Ayat Kursi terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 255 yang bunyinya :
Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
B. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah shalat Shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat Maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
C. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 285-286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah :
Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya.”
Adapun bacaan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’. (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kewajiban) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”
D. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan: ‘A’uudzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaanNya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.”
E. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam :
Dengan nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Bacaan-bacaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepadaNya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’.
Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :
Artinya: “Ya Allah, Tuhan segenap manusia….! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dariMu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari).
2. Do’a yang dibaca Jibril , ketika meruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala yang menyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.
3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjimak dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.
Surat Al-A’raf ayat 117-119 yang bunyinya:
Dan Kami wahyukan kepada Musa: ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka orang-orang yang hina.”
Surat Yunus ayat 79-82:
Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya): ‘Datangkanlah kepadaku semua ahli sihir yang pandai’. Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: ‘Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan’. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenaran mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsung pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).
Surat Thaha ayat 65-69 yang bunyinya :
Mereka bertanya,’Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah yang mula-mula melemparkan?’ Musa menjawab,’Silahkan kamu sekalian melemparkan’. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang.”
Setelah selesai membaca ayat-ayat tersebut di atas hendaklah diminum sedikit airnya dan sisanya dipakai untuk mandi.)
Dengan cara ini mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan penyakit yang sedang dideritanya.
4. Cara pengobatan lainnya, sebagai cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui di mana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.
Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.
Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun,’arraaf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka, menanyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan, sebagaimana telah dijelaskan hukum-hukumnya di awal tulisan ini.
Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Allah melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agamaNya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’atNya.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dikirim : oleh al Akh Hari Nasution. Diterbitkan oleh Depar-temen Urusan KeIslaman, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia)
Dikutip dari Salafy.or.id offline Penulis: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Judul: Hukum tentang Sihir dan Perdukunan/Paranormal

waktu-waktu sholat


Waktu-waktu Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)
Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)
Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq1. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّنِي جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali2. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka3. Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa4. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan mengisfar5kannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hambali) seperti Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain keduanya, memulai dari waktu shalat zhuhur. Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti Abu Musa, Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha (shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar merupakan shalat yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)
1 Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam.
2 Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
3 Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu malam dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.
4 Awal terbitnya fajar yang kedua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam dari fajar (jelas terbitnya fajar).”
5 Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.
6 Dengan demikian boleh mengerjakan shalat di awal waktunya, di pertengahan dan di akhir waktu. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
7 Sehingga bila diurutkan menjadi sebagai berikut:
Shalat pertama: shalat fajar, kedua: shalat zhuhur, ketiga: shalat ashar, keempat: shalat maghrib, kelima: shalat isya.
Dengan demikian shalat ashar jatuh pada pertengahan, sehingga diistilahkan shalat wustha.
Shalat Fajar atau Shalat Subuh
Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)
Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74)
Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang) lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang afdhal. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْفِرُوْا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4
Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar pahalanya).”Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini (1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.” (Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Mendapati Satu Rakaat Fajar
Telah kita ketahui bahwa akhir waktu shalat fajar adalah ketika matahari terbit, sehingga keadaan seseorang yang baru mengerjakan satu rakaat fajar kemudian ketika hendak masuk pada rakaat kedua matahari terbit maka dia mendapati shalat subuh. Hal ini sebagamana ditunjukkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقدْ أدْرَكَ الْعَصْرَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan dalil yang sharih/jelas tentang orang yang telah mengerjakan satu rakaat subuh atau ashar kemudian keluar waktu kedua shalat tersebut sebelum orang itu mengucapkan salam (sebelum sempurna dari amalan shalatnya, pent.), maka ia tetap harus menyempurnakannya sampai selesai dan shalatnya pun sah. Dinukilkan adanya kesepakatan dalam penunaian shalat ashar. Adapun dalam shalat subuh ada perselisihan. Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan ulama seluruhnya berpendapat subuh juga demikian, menyelisihi Abu Hanifah yang mengatakan, ‘Shalat subuh yang sedang dikerjakannya batal dengan terbitnya matahari karena telah masuk waktu larangan mengerjakan shalat, beda halnya dengan tenggelamnya matahari.’ Namun hadits ini merupakan hujjah yang membantahnya.” (Al-Minhaj, 5/109)
Hukum di atas adalah bagi orang yang mengakhirkan waktu shalat sampai ke waktu yang sempit tersebut. Adapun bagi orang yang tertidur atau lupa maka tidak hilang baginya waktu shalat selama-lamanya walaupun telah keluar dari seluruh waktunya, selama memang ia tidak mengerjakannya karena tertidur atau karena lupa. Waktu mereka mengerjakannya adalah ketika ingat atau saat terbangun dari tidur.
Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dikarenakan kelelahan yang sangat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Sebagian orang yang ikut rombongan berkata, ‘Seandainya anda berhenti sebentar untuk beristirahat dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Aku khawatir kalian akan ketiduran dari mengerjakan shalat.’ Bilal berkata, ‘Aku yang akan membangunkan kalian.’ Maka para sahabat yang lain pun berbaring tidur sedangkan Bilal menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun ternyata ia dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun sementara matahari telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai Bilal, apa yang tadi engkau katakan? Katanya engkau yang membangunkan kami?’ Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti tidurku kali ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِيْنَ شَاءَ، وَردَّهَا عَلَيْكُمْ حِيْنَ شَاءَ، يَا بِلاَلُ، قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ. فَتَوَضَّأَ، فَلَمَّا ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قاَمَ فَصَلَّى
Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan Dia inginkan dan Dia mengembalikannya pada kalian kapan Dia inginkan. Wahai Bilal! Bangkit lalu kumandangkan azan untuk memanggil manusia guna mengerjakan shalat.” Beliau lalu berwudhu, tatkala matahari telah meninggi dan memutih, beliau bangkit untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 595)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيْءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الْأُخْرَى، فَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِيْنَ تَنَبَّهَ لَهَا
Sesungguhnya tertidur dari mengerjakan shalat bukanlah sikap tafrith (menyia-nyiakan). Hanyalah merupakan tafrith bila seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat yang lain (dalam keadaan ia terjaga dan tidak lupa). Maka siapa yang tertidur (atau lupa) sehingga belum mengerjakan shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika terjaga/ketika sadar/ingat.” (HR. Muslim no. 1560)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، فَإِنَّ اللهَ قَالَ: أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ
Siapa yang lupa dari mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, karena Allah berfirman: ‘Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku’.”(HR. Muslim no. 1558)
1 Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar kadzib dan fajar kedua yang disebut fajar shadiq. Fajar shadiq ini muncul tersebar dalam keadaan melintang di ufuk.
2 Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Dawud bin ‘Ali, dan Abu Ja’far Ath-Thabari. (Nailul Authar, 1/466)
3 Lihat At-Tamhid, 1/141. 4 HR. At-Tirmidzi no. 154, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
5 Karena di zaman itu tidak ada penerangan lampu, sehingga mereka mengerjakan shalat subuh dalam keadaan gelap. Sampai-sampai seseorang tidak tahu siapa yang shalat di sebelahnya. Beda halnya dengan keadaan masjid-masjid di zaman sekarang yang selalu terang benderang dengan cahaya lampu.
Shalat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالظَّهَائِرِ، سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no. 542 dan Muslim no. 1406)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari, 2/32)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)
Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al­-Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)
Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?
Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/133)
Akhir Waktu Zhuhur
Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan benda/sesuatu untuk menunjukkan keluarnya/habisnya waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak digabungkan?
Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm. Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang bayangan menjadi 185 cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?
Al-Qarrafi rahimahullahu berkata, “Awal waktu ikhtiyari pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan ini berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan bendanya, (dihitung) setelah panjang bayangan benda ketika zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)
Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu zhuhur selesai apabila bayangan seseorang sama dengan tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Awal waktu zhuhur saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong (ke barat). Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur sebelum itu, dan bila dikerjakan maka shalat tersebut tidaklah mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya tanpa memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla, 2/197)
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Akhir waktu zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama dengan tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut dengan bayangan tatkala zawal/matahari tergelicir.” (Al-Kafi, 1/120)
Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur dari zawal sampai bayangan sesuatu sama dengan sesuatu tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam syarahnya terhadap ucapan penulis tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke arah barat. Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar tingginya matahari di ufuk. Demikian seterusnya hingga bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala bayangan tersebut berhenti dari pengurangan, kemudian bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan zawal” maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir (zawal) tidaklah terhitung. Pada waktu kita yang sekarang ini, tatkala matahari radhiyallahu ‘anhumaondong ke selatan maka bagi setiap sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang selalu ada di arah utaranya. Bayangan ini tidaklah teranggap. Bila bayangan ini mulai bertambah maka letakkanlah tanda pada tempat awal penambahannya. Kemudian bila bayangan itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut) berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah masuk waktu ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)
Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj (1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang lainnya.
5. Shalat Isya
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya ketika pertengahan malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 1696)
Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَصَلىَّ بِي الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ
“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya syafaq….” (HR. Abu Dawud no. 393, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى، ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.”(HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
Seandainya tidak memberati umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya sampai sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. At-Tirmidzi no. 167, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
صَلَّيْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعَتَمَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَقَالَ: خُذُوْا مَقَاعِدَكُمْ. فَأَخَذْنَا مَقَاعِدَنَا فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلُّوا وَأَخَذُوْا مَضَاجِعَهُمْ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِي صَلاَةٍ ماَ انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ ،وَلَوْلاَ ضَعْفُ الضَّعِيْفِ وَسَقْمُ السَّقِيْمِ لَأَخَّرْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ إِلىَ شَطْرِ اللَّيْلِ
Kami pernah hendak shalat isya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak keluar dari tempat tinggalnya (menuju ke masjid) hingga berlalu sekitar pertengahan malam. Beliau lalu berkata, “Tetaplah di tempat duduk kalian.” Kami pun menempati tempat duduk kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Sungguh saat seperti ini orang-orang telah selesai mengerjakan shalat isya dan telah menempati tempat berbaring (tempat tidur) mereka. Dan sungguh kalian terus menerus teranggap dalam keadaan shalat selama kalian menanti shalat. Seandainya bukan karena kelemahan orang yang lemah dan sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan shalat isya ini sampai pertengahan malam.” (HR. Abu Dawud no. 422, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)
Apa yang Dimaksud dengan Syafaq?
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya.
Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan Syaddad bin Aus g. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawud.
Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).”
Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa Arab) yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.”
Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.
Disenangi Mengakhirkan Shalat Isya’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa hadits di atas, ditambah pula hadits berikut ini:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ: الصَّلاَةُ، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ. قَالَ: وَلاَ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ بِالْمَدِيْنَةِ، وَكاَنُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ
Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur2.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian3.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)
Juga hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:
أَبْقَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْعَتَمَةِ، فَأَخَّرَ حَتَّى ظَنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِخَارِجٍ، وَالْقَائِلُ مِنَّا يَقُوْلُ: صَلَّى. فَإِنَّا لَكَذَلِكَ حَتَّى خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا لَهُ كَماَ قَالُوْا. فَقَالَ لَهُمْ: أَعْتِمُوْا بِهَذِهِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّكُمْ قَدْ فَضَّلْتُمْ بِهَا عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ وَلَمْ تُصَلِّهَا أُمَّةٌ قَبْلَكُمْ
Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak. Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَأُوْا أَخَّرَ …
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya….” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para wanita yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat isya, jika memang hal itu mudah dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)
Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya sendirian atau melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)
Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya
Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara berjamaah bersama imam, maka ia terhitung dalam keadaan shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini dinyatakan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat penyebutannya di atas:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.”(HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Dibenci Tidur Sebelum Isya dan Berbincang Setelahnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang setelahnya4. Dalam hal ini Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ الْعِشَاءَ، وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya. Dan beliau membenci tidur sebelum shalat isya dan berbincang -bincang setelahnya.” (HR. Ibnu Majah no. 701, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَدَبَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّمَرَ بَعْدَ الْعِشَاءِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kami dari berbincang-bincang setelah isya.” (HR. Ahmad 1/388-389, 410, Ibnu Majah no. 703, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2435)
At- Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi membenci tidur sebelum shalat isya dan ngobrol setelahnya. Sebagian mereka memberi keringanan dalam hal ini. Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata, ‘Kebanyakan hadits menunjukkan makruhnya’.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/110)
Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang yang dengan sengaja melakukannya. Adapun orang yang tidak kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur, maka diberikan pengecualian. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan disenanginya mengakhirkan shalat isya, tentang tertidurnya para wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari tidur mereka. (Fathul Bari, 2/66)
Demikian pula hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شُغِلَ عَنْهَا لَيْلَةً، فَأَخَّرَهَا حَتَّى رَقَدْنَا فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ غَيْرُكُمْ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُبَالِي أَقَدَّمَهَا أَوْ أَخََّرَهَا، إِذَا كَانَ لاَ يَخْشَى أَنْ يَغْلِبَهَا النَّوْمُ عَنْ وَقْتِهَا وَكَانَ يَرْقُدُ قَبْلَهَا
Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari mengerjakan shalat isya di awal waktu, maka beliau mengakhirkannya hingga kami tertidur di masjid kemudian kami terbangun, lalu kami tidur lagi kemudian terbangun. Lalu keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” Adalah Ibnu Umar tidak memedulikan apakah ia mendahulukan atau mengakhirkannya, apabila ia tidak khawatir tertidur pulas/nyenyak dari mengerjakannya pada waktunya. Adalah Ibnu Umar tidur sebelum shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 570)
Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, disebutkan bahwa terkadang Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan shalat isya dan beliau memerintahkan orang untuk membangunkannya. (Fathul Bari, 2/68)
Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh bagi orang yang yakin bahwa ia biasanya terbangun sebelum habisnya waktu shalat isya atau bersamanya ada orang yang akan membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)
Adapun tentang berbincang-bincang setelah shalat isya, maka yang dimaksudkan adalah obrolan yang sebenarnya mubah bila dilakukan di selain waktu ini. Bila suatu obrolan makruh diperbincangkan pada waktu lain selain setelah isya, tentunya lebih sangat lagi dimakruhkan bila dilakukan setelah isya. Sementara perbincangan yang memang dibutuhkan maka tidaklah dimakruhkan dilakukan setelah isya. Demikian pula berbicara tentang perkara kebaikan seperti membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diskusi ilmu, cerita tentang orang-orang shalih, berbincang dengan istri, tamu, dan semisalnya. (Al-Majmu’ 3/44, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/135)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Yang zahir dari sejumlah hadits yang datang dalam bab ini adalah dibencinya berbincang dan begadang (setelah shalat isya), kecuali dalam perkara mengandung kebaikan bagi orang yang berbicara atau kebaikan bagi kaum muslimin.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/75)
Ada beberapa hadits yang menunjukkan pengecualian dari kemakruhan tersebut:
1. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْمُرُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فِي الْأَمْرِ مِنْ أََمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَنَا مَعَهُمَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang (setelah shalat isya) bersama Abu Bakr dalam satu perkara kaum muslimin, dan aku bersama keduanya.”(Diriwayatkan At-Tirmidzi no. 169, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
2. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةً كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ، قَالَ: فَتَحَدَّثَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bibi Ibnu ‘Abbas, pent.) pada suatu malam sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada (giliran bermalam, pent.) di rumah Maimunah. Aku sengaja bermalam untuk melihat bagaimana cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam. Kata Ibnu Abbas, “(Setelah shalat isya, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya beberapa saat kemudian beliau tidur.” (HR. Muslim)
3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Usaid bin Hudhair dan seorang laki-laki lain dari Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam untuk suatu urusan mereka berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara malam itu sangatlah gelap. Keduanya kemudian keluar dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke tempat mereka dan di tangan masing-masingnya ada tongkat. Maka tongkat salah satu dari keduanya bercahaya menerangi keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat tersebut. Hingga ketika keduanya berpisah, menempuh jalan berbeda, tongkat yang satunya (yang semula tidak mengeluarkan cahaya, pent.) juga bercahaya. Maka masing-masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di tempat keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari Abdurrazzaq, kata Al-Imam Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/76)
4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak membiarkan adanya orang yang berbicara setelah shalat isya. Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian (jangan terus ngobrol setelah shalat isya. pent.), mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar sampai ke tempat kami. Ketika itu aku sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya, ‘Untuk apa kalian duduk di sini?’ Kami menjawab, ‘Kami ingin berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk bersama mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/77)
Dibencinya Menamakan Isya dengan ‘Atamah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهَا فِي كِتَابِ اللهِ الْعِشَاءُ وَإِنَّهَا تُعْتِمُ بِحِلاَبِ الْإِبِلِ
Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim no. 1454)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan:
إِنَّمَا يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ لِإِعْتَامِهِمْ بِالْإِبِلِ
“(Orang-orang A’rab) menyebut isya dengan atamah, karena mereka mengakhirkan pemerahan unta sampai malam sangat gelap (dan di saat itulah dilaksanakan shalat isya, pent.).” (Kata Al-Imam Albani rahimahullahu: “Sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)
Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihain:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala yang didapatkan dalam shalat subuh dan atamah (secara berjamaah di masjid, pent.) niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus) hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut ‘atamah maka tidaklah apa-apa. Wallahu a’lam.
Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap nama-nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah yang ada. Sehingga nama tersebut tidak ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana yang dilakukan orang-orang belakangan. Di mana mereka meninggalkan lafadz-lafadz nash dan lebih mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru. Karena hal ini, terjadilah kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Karena didapatkan riwayat mauquf dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau memaknakan syafaq dengan humrah, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni.
2 Wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya di masjid. ‘Umar menyeru demikian karena menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya karena lupa. (Al-Minhaj, 5/139)
3 Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa hal itu terjadi sebelum tersebarnya Islam di tengah manusia.
4 Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan berbincang setelah shalat isya adalah agar jangan sampai hal itu menjadi sebab seseorang meninggalkan qiyamul lail (shalat malam), atau ia tenggelam dalam obrolan kemudian tertidur pulas setelahnya hingga habis waktu shalat subuh. (Al-Majmu’ 3/44, Fathul Bari, 2/66)
5 Yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 58:
وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ